QUARTER LIFE CRISIS

 


Seiring bertambahnya usia, cara manusia berfikir dan memandang kehidupan jelas berubah dari zaman ke zaman. Dari yang dulunya saat masih kanak-kanak belum mengenal arti cinta pada saat SMA sudah mulai menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Dari yang SMP masih sibuk main sampai menginjak usia 12 SMA yang sudah mulai bingung arah hidup kedepannya seperti apa, apakah lanjut kuliah atau mencari kerja misalnya.

Dinamika mindset tersebut terbentuk karena manusia terus belajar dari kesalahan dan pengalaman, entah pengalaman diri sendiri maupun dari orang lain. Baik dari omongan maupun dari buku yang kita baca. Dan jangan lupa bahwa keadaanlah yang menjadi penyumbang terbesar faktor berubahnya pemikiran manusia.

Orang yang berusia 20 tahun, satunya berkuliah dan satunya bekerja tentu saja memiliki pola pikir yang berbeda, ada yang fokus untuk lebih bersabar dalam meningkatkan value dirinya dan satunya sedikit tergesa-gesa untuk mendapat nilai material. Tidak ada yang salah dari keduanya, sebab keadaanlah yang membuatnya demikian.

Quarter life crisis atau jika dialihbahasakan menjadi krisis seperempat hidup adalah sebuah kalimat yang tren saat ini, yaitu kondisi yang dialami oleh seseorang rentang usia 20-30 tahun dimana mereka khawatir akan masa depan. Kecemasan itu timbul karena pertanyaan-pertanyaan “apakah yang kulakukan saat ini benar dan bisa membuatku kaya?”

“apakah aku bisa seperti mereka, menikah muda dan punya harta yang berlimpah?”

Kondisi ini ditandai dengan kecemasan akan masa depan, minder saat melihat kesuksesan teman, merasa tidak bahagia walaupun sudah hidup dalam kecukupan dan seterusnya.

Sebenarnya kondisi seperti ini wajar dialami oleh rentang usia tersebut sebab pada usia inilah seseorang berada dalam fase pencarian jatidiri dan pembentukan masa depannya. Pada fase inilah nasib kita akan kita bentuk dan menikmati di hari tua nantinya, apapun itu. Namun jangan sampai kita tenggelam dalam pikiran yang berlebihan dan menjadikan hari-hari kita tidak produktif.

Cara untuk mengatasi krisis seperempat hidup ini yang paling utama adalah berhenti bersosial media. Racun yang paling beracun pada zaman ini tak lain yaitu sosial media. Whatsapp, instagram, facebook, twitter adalah paradoks terlucu. Mengapa ? sebab mereka (sosial media) menghubungkan kita dengan orang lain secara cepat untuk keperluan usaha atau sekedar bertanya kabar, juga membuat kita minder sekaligus overthinking yang berujung pada insomnia di malam hari. Paling tidak mengurangi penggunaan sosial media untuk mengatasi quarter life crisis ini.

Setelah kita mengatur waktu untuk membuka media sosial, mengurangi intensitas penggunaannya, dan  memperlakukannya secara bijak. Selanjutnya adalah dengan mengenali diri sendiri, kita bisa mulai dengan membuat pertanyaaan

“Apakah saya senang mengerjakan ini?”

“Apa yang ingin saya capai kedepannya?”.

Jawaban jujur dari pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat kita menemukan jati diri dan tujuan hidup sesungguhnya.

Setelah tahu akan tujuan hidup langkah selanjutnya adalah mengubah persepsi dan pola pikir terhadap hidup dengan menerapkan stoikisme. Salah satu paham ilmu filsafat ini mengajarkan kita untuk berdamai dengan hidup. Dikotomi kendali antara kendali diri dan kendali orang lain merupakan cara merespon keadaan yang diajarkan dalam filsafat ini. Selain itu ada metode yang bernama mental contrasting dan pesimisme defensif yang akan saya bahas selanjutnya.

Post a Comment for "QUARTER LIFE CRISIS"