Nayla


Sore itu dikala cuaca tidak lagi sepanas beberapa jam lalu merupakan waktu yang pas bagi Nayla untuk merenung di bawah pohon jambu depan rumahnya. Tempat itu tertata rapi dan dibentuk sedemikian rupa oleh pamannya setahun lalu, membuat Nayla betah berlama-lama disana. Untuk sekedar duduk, ataupun membaca novel-novel hasil bertukar dengan teman sesama komunitas Pecinta Novel Indonesia.

Sebulan lalu dia bergabung di sebuah komunitas pecinta novel di daerahnya di Yogyakarta, komunitas itu berisi berbagai orang-orang dari berbagai latar belakang dan gender, ada yang bekerja sebagai pegawai kantoran, karyawan swasta, mahasiswa dan anak SMA seperti Nayla semua turut bernaung dibawah payung yang sama, Komunitas Pecinta Novel Indonesia.

Komunitas ini menjadi wadah bagi Nayla untuk berkumpul dan menyalurkan hobinya membaca buku selain mendapat teman baru tentunya. Dan terlebih lagi sebagai pelarian dari kebiasaan buruknya di masa lalu.

Sudah sejam ia disana dan sekarang pukul 5 sore waktunya pekerja-pekerja pulang dari kantornya, buruh keluar dari pabriknya sembari bercengkrama mengumbar senyum kepada sesama. Jalanan tumpah ruah dengan kendaraan menandakan bahwa roda perekonomian benar-benar berjalan, ada yang pulang dan ada yang pergi ke tempat kerjanya, semua menuju tujuannya masing-masing.

Nayla memperhatikan dengan seksama, bola matanya yang sayu tampak berlinang air mata, betapa besar pergolakan batin yang ia rasakan, semua bercampur aduk sore itu. Ada berbagai macam yang telah ia lihat sejak sejam duduk di bawah pohon jambu depan rumahnya menghangatkan bangku yang dibuat sendiri oleh pamannya.

Pria tua berkumis tipis melangkah dengan kaki berwibawa dan satu tepukan di pundak Nayla mengagetkannya. Suaranya yang agak serak mulai mengeluarkan kalimat.

"Paman tahu kalo kamu sedih memikirkan kebahagian! Bukankah begitu?" Nayla tidak menjawab. Pria tua tersebut rupanya memperhatikan putri adiknya itu sedari tadi. Menonton lamunannya dan menunggu waktu yang tepat untuk bercerita ke gadis yang telah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Aku berpikir bahwa semua materi yang aku dapatkan tiada artinya di dunia fana ini. Semua hal bahkan bersama ayah ibu pun aku tidak merasakan namanya kebahagiaan. Aku berkubang dalam lembah kesepian, hanyut di arus kesedihan membawaku pada bencana yang tidak aku temui cara untuk selamat darinya."  Kata Nayla mencoba untuk menahan diri namun air terus mengalir dari mata sayunya membentuk sungai di pipi lembutnya dan berhulu di bibir tipisnya. Kecantikan gadis itu jadi bahkan tiada pudarpun tapi mengapa bahagia enggan hinggap di hidupnya.

"Kemana kebahagiaan ku pergi? Kenapa ia meninggalkanku padahal itulah yang paling diimpikan oleh seluruh manusia di bumi" Suara parau diiringi isakan semakin membuat situasi sore itu berkabung awan sedih dari Nayla. Dunia di sekitar seakan berhenti bergerak mendengar kesaksian Nayla. 

Pria tua yang sedari tadi berada di samping gadis itu mengusap air mata di pipi keponakannya. "Di dunia ini kita tidak bisa terhindar dari penderitaan seperti kesedihan, perasaan takut, kesal, pikiran berlebihan dan sebagainya. Manusia akan mengerjakan apapun, bertindak dengan tujuan agar mendapatkan kenikmatan dan seminimal mungkin merasakan derita. Begitulah kita, namun apa bedanya kita dengan kambing jika seperti itu? Kambing mencari makan, mencari pasangan melakukan apapun agar naluri dan nafsunya dapat terpenuhi agar kambing itu bahagia, jika kita manusia berpikir bahwa hal menyenangkan yang akan membuat kita bahagia itu benar, namun tak sepenuhnya benar. Jika seperti itu kita tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan apa beda kita dengan kambing"? Pria tua itu terkekeh saat melafalkan kalimat terakhir namun tak juga membuat senyum merekah di bibir Nayla.

Lantas bagaimana aku bisa bahagia?
Cukup sederhana nak, segera buka hati dan pikiranmu dan nikmati setiap detik di hidup ini, rasakan penderitaan demi penderitaan jangan berlarut sedih ketika menghadapinya, juga bersyukurlah akan hidupmu sendiri, ingat bahwa banyak yang iri dengan kecantikanmu dengan kepintaranmu nak. Jangan terlalu berpikir berlebihan tentang masalahmu...

Matahari perlahan hilang dari ujung horizon, juga air mata Nayla sudah kering sejak langit sudah berganti warna. Siang berganti malam adzan maghrib syahdu berkumandang, segera Nayla menuju masjid menghadap yang empunya kehidupan.


-Sarjo, Pasangkayu 15 Oktober 2020



Post a Comment for "Nayla"