Perang Otak Pemikir dan Otak Perasa


Dalam kehidupan ini manusia senantiasa melakukan sesuatu atas berbagai landasan, landasan yang paling utama menggerakkan hati manusia adalah harapan. Ya, semua orang memerlukan harapan dan itu yang membuatnya actual dan salah satu cara menjaga eksistensinya. 

Orang-orang sering bertanya tentang arti kehidupan, kebahagiaan dan selalu mencari ke(pem)benaran, hal itu memang lumrah dan tidak lekang oleh jaman. Manusia modern selalu mencari cara agar mereka bahagia dan seminimal mungkin bersentuhan dengan penderitaan. 
Berkumpul bersama teman di kafe, bermain game, pergi ke suatu tempat hanya untuk mengunggahnya di Instagram. Semua hal itu dilakukan manusia ketimbang mengerjakan tugas, membaca buku, saya yakin diantara kita juga tidak ingin kaki kita berdarah oleh besi sialan yang tertancap sembarangan di jalan.

Salah satu cara agar menjadi bahagia adalah menjaga harapan, sebab dengan harapan kita bisa memaknai hidup ini dan berjuang untuk berkembang jauh lebih baik. Harapanlah yang membuat kita bertahan, harapanlah yang membuat kobaran api semangat dalam dada terus menyala, harapanlah yang akan jadi penuntun sekaligus juga jadi tujuan untuk kita raih di masa yang akan dating.

Maka dari itu makhluk homo sapiens ini melakukan beragam metode dan cara agar dirinya merasa bahagia dengan terus merawat harapan agar jiwanya tidak sampai pada kondisi krisis harapan. Apa itu krisis harapan dan seberapa pentingkah menjaga harapan dalam kehidupan ini? Pertanyaan demi pertanyaan mencuat mengenai harapan dan arti kehidupan itu sendiri, keduanya saling berkorelasi agar terwujud kebahagiaan. 

Baca juga : https://www.rancah.com/berita-opini/77770/presiden-harus-tegas-membatalkan-ruu-hip/

Dalam bertindak manusia selalu mengolah terlebih dahulu apa yang akan dilakukannya oleh otak mereka, baik itu tindakan positif maupun tindakan yang negative. Keputusan-keputusan yang manusia buat entah kedepan konsekuensinya seperti apa apakah benar atau salah keputusan yang dibuatnya semua berawal dari otak. Ada dua jenis otak yang berperan dalam proses ini yaitu OTAK PEMIKIR DAN OTAK PERASA. Kedua otak ini mempunyai perbedaan untuk otak pemikir dia adalah tipe otak yang akan melakukan tindakan berdasarkan logika, melambangkan pikiran-pikiran sadar, kemampuannya melakukan kalkulasi. Sedangkan otak perasa melambangkan emosi, perasaan, dorongan hati, insting, dan intuisi. Saat otak pemikir memaksa agar anda pergi kuliah atau bangun pagi untuk bekerja, otak perasa ingin agar anda melanjutkan bermimpi indah dan menambah durasi tidur anda.

Kehidupan ini ibarat sebuah mobil dimana otak pemikir adalah sopirnya dan otak perasa adalah penumpang dari mobil kehidupan ini. Si otak pemikir membawa mobil kehidupan melewati rute berdasarkan peta untuk sampai ke tujuan, dialah yang mengendalikan semuanya. Membawa mobil kehidupan dengan kecepatan konstan dan rute yang membosankan tanpa menengok ataupun singgah di tengah-tengah perjalanan untuk menikmati pemandangan. Sedang dibelakang ada otak perasa yang duduk manis melihat jalan-jalan yang dilewati mobil kehidupan, sembari menunujukkan rute baru ke otak pemikir meskipun pendapatnya tidak dilaksanakan oleh si otak pemikir, namun disamping semua itu ia menikmati perjalanan.

Bayangkan ketika mobil kehidupan ini hanya memiliki satu penumpang yaitu otak pemikir sebagai pemegang kemudi, pasti kehidupan akan hambar meskipun telah mencapai tujuan namun kita tidak bisa untuk menikmati segala proses sebelum tujuan kita tercapai. Buntut dari hal itu adalah krisis harapan dimana kita kehilangan apa makna sebenarnya hidup ini, kita kehilangan rasa, kita tidak tau cara menikmati hasil dari proses kita.
Bayangkan pula ketika yang menjadi pemegang kendali atau supir dari mobil kehidupan ini adalah si otak perasa, saya yakin kehidupan kita pasti tidak akan sampai pada tujuannya, alih-alih sampai kita malah berfoya-foya, santai dan kehilangan arah untuk melakukan apa selanjutnya, kita menjadi kriris harapan. Kita kehilangan harapan.

Ada satu kisah di masa lalu mengenai seorang pengusaha yang bernama Eliot, dia adalah seorang direktur di sebuah perusahaan, dia memiliki karir yang cemerlang dalam hidupnya, ia disayangi oleh rekan kerja dan tentu keluarganya. Tapi ada satu masalah yang membuat semua pencapaian itu tidak berguna bahkan Eliot sendiri merasa tidak menginginkan semua pencapaian yang didapatkannya itu. Dia menderita sakit kepala yang setiap malam dia rasakan sebelum tidur, membuatnya insomnia hingga pagi dan melanjutkan kerjanya pukul 7 pagi sampai sore.
Eliot menderita tumor otak dan ia ingin menghilangkan tumor tersebut, singkat cerita dokter pun mengambil tindakan bedah dan mengangkat tumor tersebut dari kepala Eliot. Dan kabar baik menghampirinya dia tidak lagi menderita sakit kepala itu. Untuk beberapa saat dia bahagia.

Namun kabar buruknya adalah berkat operasi itu dia tidak lagi bisa untuk bersimpati kepada orang-orang, tumor itu tidak hanya membawa sakit kepala namun kehilangan yang mendalam lagi kelam bagi eliot karena dari kinerja buruknya belakangan di perusahaan dia dipecat dan istri yang dulu sangat menyanginya telah pergi meninggalkan eliot untuk jadi gelandagan di jalanan. Eliot kehilangan empati, perasaan, emosi, dan segala dari otak perasanya. Daripada memikirkan mengenai nasibnya, dia terlihat bodo amat. Dia telah benar-benar kehilangan otak perasanya.

Masing-masing pasti mempunyai interpretasi tersendiri mengenai analogy mobil kehidupan diatas. Dan juga kisah Eliot yang punya segalanya hancur Karena ia kehilangan emosi yang ada dalam otak perasanya namun esensinya yakni untuk menjaga agar tidak mengalami krisis harapan adalah dengan cara meyeimbangkan antara otak pemikir dan otak perasa. Namun dalam kehidupan sehari-hari apakah kita sudah mampu mendamaikan 2 otak ini, otak peikir vs otak perasa? Ataukah kita masih menggunakan otak perasa kita, saya yakin pada pernyataan kedua.


Post a Comment for "Perang Otak Pemikir dan Otak Perasa"